PERAN NEGARA DALAM EKONOMI

Ditulis oleh Sadli
Kamis, 25 Maret 2004
(Kesaksian pada Komisi Konstitusi, 25 Maret 2004)
Saya adalah ekonom senior, lahir di tahun 1922, sehingga mengenal tiga zaman, yakni zaman kolonial sebelum perang dunia kedua, zaman pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan. Saya satu generasi lebih muda dari para proklamator RI. Sebagai orang dewasa saya mengalami pelaksanaan dari UUD 1945 dan hubungannya dengan kualitas pemerintah sangat erat. Maka nilai normatip UUD dan kenyataannya patut diimbangkan. Dalam suasana “semangat proklamasi” maka Undang-undang Dasar 1945 kita terima dengan tulus hati dan kepimpinan Sukarno-Hatta disanjung dengan penuh harapan. Di bidang ekonomi warna zaman adalah “serba sosialis” dan itu juga diterima secara umum tanpa reserve karena mencerminkan sentimen idiil penduduk negara-negara bekas jajajahan yang memasuki alam kemerdekaan.


PERAN NEGARA DALAM EKONOMI
Ditulis oleh Sadli
Kamis, 25 Maret 2004
(Kesaksian pada Komisi Konstitusi, 25 Maret 2004)
Saya adalah ekonom senior, lahir di tahun 1922, sehingga mengenal tiga zaman, yakni zaman kolonial sebelum perang dunia kedua, zaman pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan. Saya satu generasi lebih muda dari para proklamator RI. Sebagai orang dewasa saya mengalami pelaksanaan dari UUD 1945 dan hubungannya dengan kualitas pemerintah sangat erat. Maka nilai normatip UUD dan kenyataannya patut diimbangkan. Dalam suasana “semangat proklamasi” maka Undang-undang Dasar 1945 kita terima dengan tulus hati dan kepimpinan Sukarno-Hatta disanjung dengan penuh harapan. Di bidang ekonomi warna zaman adalah “serba sosialis” dan itu juga diterima secara umum tanpa reserve karena mencerminkan sentimen idiil penduduk negara-negara bekas jajajahan yang memasuki alam kemerdekaan.

Saya adalah ekonom senior, lahir di tahun 1922, sehingga mengenal tiga zaman, yakni zaman kolonial sebelum perang dunia kedua, zaman pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan. Saya satu generasi lebih muda dari para proklamator RI. Sebagai orang dewasa saya mengalami pelaksanaan dari UUD 1945 dan hubungannya dengan kualitas pemerintah sangat erat. Maka nilai normatip UUD dan kenyataannya patut diimbangkan. Dalam suasana “semangat proklamasi” maka Undang-undang Dasar 1945 kita terima dengan tulus hati dan kepimpinan Sukarno-Hatta disanjung dengan penuh harapan. Di bidang ekonomi warna zaman adalah “serba sosialis” dan itu juga diterima secara umum tanpa reserve karena mencerminkan sentimen idiil penduduk negara-negara bekas jajajahan yang memasuki alam kemerdekaan.




Peran negara serta pemerintahnya adalah supreme. Pemerintah, yang mewakili rakyatnya, dipandang sebagai pemimpin gerakan yang revolusioner untuk mendirikan negara nasional yang harus mengikis habis sisa-sisa dari kolonialisme. Semangat waktu itu adalah revolusioner, bukan evolusioner. Pemerintah dipandang “palu godam” untuk perombakan. Ide demokrasi dijunjung oleh Soekarno, Hatta dan Sjahrir, walau masing-masing masih punya penafsirannya sendiri. Bagi Soekarno demokrasi adalah “hak kedaulatan rakyat” dan rakyat diwakili oleh pemerintahnya, yang mendapat mandat penuh untuk melakukan apa saja yang diperlukan revolusi. Bung Hatta menafsirkan demokrasi sebagai demokrasi sosial yang mementingkan hak rakyat untuk berkiprah mencari kesejahteraannya, dan dalam hal ini Bung Hatta memandang koperasi sebagai bentuk usaha yang paling cocok karena bersemangat “gotong royong”. Sjahrir lebih menekankan demokrasi politik yang harus melindungi hak-hak kebebasan perorangan, dan oleh karena itu sistim demokrasi parlementer lebih cocok dengan selera Bung Sjahrir. Kami, kaum muda, mengagumi semuanya itu karena kedengaran idealistik dan kita belum punya pengalaman untuk melaksanakan segalanya. Pasal 33 UUD 1945 kita terima karena percaya kepada founding fathers.


Saya sendiri, permulaan tahun limapuluhan menjadi asisten Prof. Sumitro Djojohadikusumo, seorang aktivis PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang berhaluan sosialis. Bahwa ada sosialis kiri dan sosialis kanan pada waktu itu kami belum begitu gubriskan. Mengapa kami mengikuti tokoh sosialis kanan dan bukan sosialis kiri mungkin juga karena faktor kebetulan, dan pengaruh lingkungan teman dekat.


Prof. Sumitro mengirim sejumlah dosen muda ke Amerika Serikat untuk belajar ekonomi. Mengapa ia tidak mengirim ke London School of Economics, yang haluan ideologisnya “lebih kiri”, kami tidak tahu. Mungkin karena tawaran bea siswanya datang dari sumber Amerika (The Ford Foundation). Tetapi saya rasa, bagi Prof. Sumitro maka ilmu ekonomi cukup universil, dan apakah belajar disiplin ilmiahnya di London atau di Harvard-MIT ataupun Berkeley, tidak terlalu berdampak besar. Sumitro sendiri sedang mengembangkan “Jakarta School of Economics” yang memadukan teori ekonomi umum dengan keperluan pembangunan negara berkembang. Dalam hal ini, haluan idiil dari gagasan-gagasan guru besar, apakah serba kiri atau kanan, tidak terlalu relevan. Aplikasi dari ekonomi dipengaruhi oleh pandangan ideologis, akan tetapi tools of analysisnya dipandang serba netral dari kecenderungan ideologis. Kami semua kagumi Prof. Arthur Lewis, seorang pendekar teori ekonomi pembangunan yang haluannya serba left of center, tetapi kami juga belajar dari guru besar seperti Kindleberger dan Rostow dari Harvard-MIT yang lebih ada di center. Yang Sumitro pentingkan pada perkembangan keilmuan para dosen ekonomi muda adalah kemahiran dan penguasaan tools of analysisnya, yang harus rigid, sedangkan warna ideologisnya diserahkan kepada individunya.


Dosen-dosen muda yang mengasuh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, setelah ditinggalkan oleh Sumitro (1957-1967) karena beliau mengasingkan diri setelah terlibat dalam gerakan PRRI (1956/7), masih berusaha meneruskan ikatannya dengan gagasan yang serba sosialis. Saya dan Prof. Subroto dikirim ke Yugoslavia untuk mengikuti kursus musim panas “untuk belajar membangun sosialisme”. Batara Simatupang dikirim ke Stanford University untuk S3-nya karena di situ ada guru besar terkenal yang berhaluan sosialis (Paul Baran). Kami juga kagum profesor Oscar Lange dari Polandia yang berusaha menggabungkan sosialisme dengan mekanisme pasar. Kami waktu itu juga pengagum model planning dari India di mana pemerintah memegang peran commanding heights of the economy. Model perencanaan pembangunan India ini pada dirinya mendapat inspirasi dari model Uni Soviet yang sentralistik akan tetapi di India masih ada private property yang diakui hak eksistensinya. Maka bagi kami, mencari synthese antara faham sosialisme (yang normatip terhadap ideal pemerataan) dengan ekonomi yang berdasar prinsip-prinsip mekanisme pasar (yang menekankan efisiensi dari sistim alokasi) mungkin menjadi “pencarian kebenaran” (searching for the truth) yang tak ada hentinya, Di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia maka Prof. Sumitro juga mengintroduksikan mata pelajaran perkoperasian, dan dosen pertama adalah (mendiang) Profesor Suryaatmadja, mantan direktur utama Bank Rakyat Indonesia. Mungkin adalah pertanda zaman bahwa mata kuliah ini sekarang tidak diberikan lagi.


Kelompok ekonom muda yang mulai sebagai asuhan Prof. Sumitro ini mempunyai pengalaman pemerintahan di zaman Suharto, sejak permulaannya di tahun 1967. Pengalaman ini memodifikasi pandangan mereka. Reformasi mendasar dalam wawasan public policy di bidang ekonomi adalah ditinggalkannya kebijakan command economy di bawah pemerintah Presiden Soekarno, dan dasar kebijakan baru jauh lebih banyak mengikuti faham pasar yang serba bebas (free market forces & market mechanism) sebagai wahana utama alokasi sumber daya dan dana. Perdagangan serta investasi internasional diberi dorongan dan sektor swasta dalam negeri diberi peran yang lebih besar. Ekonomi lebih dideregulasikan (untuk mengikuti pasar) ketimbang di zaman sebelumnya. Wacana baru ini juga merupakan refleksi kekecewaan (disenchantment) kami terhadap praktek pelaksanaan pasal 33 UUD 1945 oleh pemerintahan Soekarno.


Akan tetapi, Undang-undang Dasar 1945 tidak dirubah. Dasar negara (tetap) Pancasila. Mungkin keputusan untuk tidak merubah UUD 1945 lebih didasarkan agar tidak “membuka kotak Pandora”, yang bisa mengulangi debat sengit di tahun 1945 mengenai dasar negara. Maka dasar fikiran pemerintah Soeharto adalah untuk merombak paradigma kebijaksanaan pemerintah dengan penafsiran UUD 1945 secara lebih sesuai dengan kebutuhan zaman seperti dirasakan oleh penguasa-penguasa baru.


Maka pasal 33 UUD 1945 tetap ada akan tetapi swasta asing dan dalam negeri diizinkan menanam modal dan mengelola perusahaannya di berbagai sektor yang penting, bahkan yang menguasai kehidupan orang banyak. Tetapi interpretasi sektor demikian sangat elastik. Lagipula, pembatasannya masih banyak sekali. Semua sektor pelayanan umum (public utilities) masih dilaksanakan oleh perusahaan negara. Sektor minyak dan gas bumi dikuasai oleh Pertamina, dan perusahaan asing yang mencari minyak diberi bentuk perusahaan kontrak karya di mana secara resmi mereka itu hanya kontraktor Pertamina dan semua aset secara nominal langsung menjadi hak milik Pertamina. Yang dijamin hanya hak untuk beroperasi dan mengambil keuntungan untuk perioda kontrak, 20-30 tahun.


Sektor BUMN dan sektor koperasi masih besar sekali dan dianggap penting. Koperasi dilindungi oleh undang-undangnya sendiri.


Model ekonomi Orde Baru sebagai hybrid antara command economy dan market economy bisa dikatakan cukup berhasil, karena mampu menopang laju pertumbuhan ekonomi hampir 7% setahun untuk tiga dasawarsa. Sekarang ini ada contoh lain dari hybrid demikian, yakni ekonomi RRC dan Vietnam. Masalahnya sekarang adalah, apakah di zaman baru di Indonesia, yang bisa disebut zaman Demokrasi dan Desentralisasi, UUD 1945, khususnya pasal yang menguasai ekonomi (pasal 33), harus disesuaikan dengan keperluan zaman yang baru, ataukah bisa dipertahankan tetapi penafsirannya saja yang disesuaikan lagi dengan keperluan masa kini?


Jawaban yang masuk akal adalah: kalau pasal-pasal politik sudah banyak yang dirubah dan disesuaikan dengan kenyataan masa kini, mengapa bukan pasal utama yang menguasai ekonomi? Kalau hanya tafsirannya yang dirubah maka bisa dituduh hypokrisi, munafik atau bermuka dua.


Bagaimana merubahnya kami tidak punya saran yang konkrit, mungkin karena generasi kami selama tiga puluh tahun yang lalu juga tidak mau menyibukkan diri dengan persoalan UUD itu. Generasi Soeharto sangat takut “membuka kotak Pandora UUD 1945”. Kalau generasi sekarang tidak punya alergi demikian, maka mereka lebih bebas untuk merubah UUD untuk menyesuaikannya dengan apa yang dirasakan sebagai keyakinan masa kini.


Kaum generasi yang lebih tua menganut premise bahwa “Undang-undang Dasar 1945 adalah sakral” dan tidak boleh dirubah sepanjang sejarah NKRI. Sakralitas undang-undang dasar demikian tidak perlu dianut oleh generasi-generasi berikut. Undang-undang dasar pun merupakan ciptaan manusia, refleksi nilai-nilai serta keyakinan generasi yang menciptakannya. Selama sejarah berjalan maka setiap generasi baru (yang feel different) mempunyai hak dan kedaulatan untuk merubahnya, walaupun pilihan demikian tidak mutlak harus berlakukan.


Kalau UUD 1945 sekarang dirubah maka cukup banyak orang, bahkan partai politik, akan menganggap demikian itu pengkhianatan terhadap NKRI. Akan tetapi, dengan perjalanan waktu, warga NKRI yang sudah dewasa ketika RI diproklamasikan akan semakin sedikit jumlahnya. Generasi-generasi baru yang mewarisi RI ini harus menentukan sendiri pegangan politik apa yang mereka perlukan untuk mengelola negara dan mencapai kesejahteraan untuk sebagian besar warga masyarakatnya.


Ekonomi nasional di zaman demokrasi ini harus lebih mengikuti kaidah-kaidah persaingan sehat, produktivitas yang senantiasa meningkat, harus lebih berintegrasi dengan ekonomi internasional dengan mendorong ekspor dan investasi, harus mengurangi berbagai diskriminasi, kalau perlu proteksi maka itu harus bisa diphase out setelah beberapa waktu (tidak boleh ada proteksi permanen). Demokrasi di ekonomi juga menghendaki good governance yang prinsip-prinsipnya adalah aksesibilitas, transparansi dan akuntabilitas.


Semuanya itu masih bisa ditampung oleh pasal-pasal di UUD 1945. Maka yang dari dulu menjadi pokok kontroversi adalah peran negara dalam ekonomi dan kedudukan koperasi. Jiwa ideologi UUD 1945 bisa ditafsirkan sebagai “paternalistik” dalam arti kata bahwa pemerintah harus mengayomi dan menjamin kesejahteraan bagi semua, atau sebagian besar, warganya. Wahana ekonomi yang terutama adalah “penguasaan” oleh pemerintah dari sektor-sektor yang perannya strategik untuk kehidupan warga itu. Lalu, penguasaan ditafsirkan sebagai pemilikan. Ini lebih cocok dengan faham sosialisme asli. Sekarang partai sosialis atau buruh di negara-negara industri, seperti di Inggris dean Eropa, sudah melonggarkan visinya terhadap penguasaan-lewat-pemilikan ini. “Penguasaan” bisa juga diikhtiarkan lewat “pengaturan” (regulation) sehingga peran utama pemerintah menjadi sebagai “regulator”. Caranya juga masih bermacam-macam. Kalau dasar pengelolaan ekonomi sudah bergeser ke arah market-based rules, maka cara regulasi hendaknya “market friendly”, not going against the market.


Wahana pun beraneka ragam. Yang penting-penting sudah diterapkan di Indonesia sejak Reformasi (tahun 1999), yakni misalnya adanya undang-undang persaingan sehat yang anti monopoli, adanya bank sentral yang independen. Dalam hubungan dengan luar negeri maka sistim WTO menjadi rules of the game bagi semua negara anggotanya. Aturan-aturan WTO tidak sempurna dan masih lebih menguntungkan negara industri adidaya daripada negara berkembang, akan tetapi tidak ada aturan internasional resmi yang lain, dan paling tidak aturan WTO memberikan proteksi kepada semua negara anggota dan pelaku ekonominya. Oleh karena itu maka negara seperti Cina dan Vietnam sangat getol menjadi anggota.


Kedudukan koperasi di pasal 33 UUD 1945 selalu menjadi obyek kontroversi. Apakah bentuk usaha koperasi “dimahkotakan” atau harus dipandang sebagai salah suatu bentuk usaha dan pelaku di perekonomian nasional? Pengalaman 50 tahun menyatakan bahwa koperasi tidak mungkin dijadikan bentuk usaha yang dominan di perekonomian, lebih-lebih bentuk usaha koperasi seperti dalam konsep asli, yakni suatu bentuk usaha yang “non-profit” dan yang menjadi gabungan anggota sebagai perorangan ketimbang bentuk usaha yang berdasarkan pemupukan modal dan yang bekerja untuk meraih keuntungan. Secara nominal keputusan di koperasi diambil berdasarkan one-man-one-vote, yang memang lebih demokratis, akan tetapi sebagai perusahaan kalah kemampuannya dengan perusahaan yang kapitalistik di mana keputusan diambil berdasarkan one-share-one-vote. Perusahaan yang akhir ini jauh lebih mampu untuk menarik modal ketimbang koperasi yang besar modal sendirinya biasanya kecil sekali karena saham para anggota sebagai individu yang harus sama besarnya. Koperasi bisa menarik modal pinjaman, misalnya dari bank, akan tetapi selalu terbatas karena masalah agunan. Koperasi yang paling subur adalah koperasi simpan-pinjam, koperasi konsumsi dan koperasi pengusaha kecil.


Dalam praktek maka banyak sekali terjadi penyalahgunaan dari fasilitas yang oleh undang-undang diberikan kepada koperasi, dan akhirnya jawatan pajak juga tidak mau membebaskan pajak PPh untuk koperasi dan yayasan.


Dalam praktek maka koperasi disebut senafas dengan perusahaan kecil dan menengah (juga sektor informal) dalam istilah UKMK (Usaha Kecil Menengah dan Koperasi). Perannya di perekonomian nasional juga tidak pernah bisa menandingi bentuk perseroan terbatas atau firma, yang merupakan bentuk-bentuk usaha lebih sesuai dengan faham kapitalisme.


Maka akhirnya persoalan polok adalah apakah kita terima “kapitalisme” sebagai dasar perekonomian nasional, atau menolaknya. Menolak sudah tidak bisa karena Indonesia tidak bisa berdiri sendiri di perekonomian dunia. Maka untuk mengurangi stigma negatip istilah (kapitalisme) bisa dibubuhi “Pancasila”, atau di luar negeri “social capitalism” atau “capitalism with a human face”. Terserahlah kalau dengan embel-embel demikian bisa lebih laku. Asal jangan mengulangi istilah “demokrasi terpimpin”, artinya, terpimpin oleh pemerintah. Setelah pengalamannya dengan pemerintah Soekarno dan Suharto maka Indonesia patut curiga terhadap kualitasnya.


Masa kampanye untuk pemilu sudah mulai. Ekonomi jalan terus, praktis tak terganggu, bahkan mendapat stimulasi dari kegiatan politik ini.


Banyak orang memandang reformasi dan demokrasi di Indonesia masa kini masih (sangat) menguntungkan, karena kebebasan-kebebasan politik yang azasi jauh lebih besar ketimbang di zaman Suharto. Di lain fihak, banyak juga yang menangis karena “reformasi sudah mati suri”. Pada umumnya, yang senang pada demokrasi (politik) adalah tokoh-tokoh partai politik. Contohnya Amien Rais, yang beraspirasi menjadi presiden walaupun sadar bahwa menangkan pertandingannya melawan Megawati merupakan perjuangan yang berat. Kalangan yang kurang senang dengan perkembangan demokrasi politik adalah aktivis dari LSM atau civic society. Bagi mereka kualitas dari demokrasi politik masih kurang karena keterlibatan civic society dalam proses pengambilan keputusan oleh eksekutip dan legislatip kadar partisipasinya belum cukup. Walaupun LSM dan lain anggota masyarakat madani ini cukup sering dilibatkan dalam proses konsultasi, misalnya oleh DPR, namun, keluh mereka, keputusan akhir diambil oleh kalangan DPR atau eksekutip sendiri. Artinya, LSM ini didengarkan akan tetapi tidak punya suara dalam pengambilan keputusan. Dalam bahasa Inggris ada perbedaan antara vote dan voice. Di bahasa Indonesia tidak; kedua-duanya disebut “suara”. Tetapi, tata aturan demokrasi politik (sistim parlementarisme atau representative democracy) memang tidak memberi hak demikian kepada kalangan masyarakat. Demokrasi politik yang formal hanya mengakui hak vote dan voice kepada para wakil rakyat yang terpilih. Anggota LSM tidak ikut mengambil keputusan legislatip atau eksekutip karena keberadaannya bukan hasil pemilihan umum yang syah.


Sistim demokrasi dari permulaannya di zaman Yunani pun tidak sempurna. Waktu itu tidak semua warga masyarakat punya hak suara, misalnya perempuan dan budak. Maka di zaman Yunani pun praktek demokrasi politik bersifat elitis. Dalil dasar demokrasi politik bahwa “semua warga adalah sama” (all men are equal) lebih bersifat idealis dan normatip. Di Indonesia juga sukar untuk “menyamaratakan” petani yang tidak baca koran di satu fihak dan Bung Hatta atau Dr. Sjahrir di lain fihak, walaupun pada saat pemilu votenya sama. Sesudahnya voicenya tidak sama.


Di negara industri yang adidaya seperti Amerika Serikat maka masih banyak juga yang berpendapat bahwa sistim demokrasi politik mereka tidak sempurna. Presiden Bush, misalnya, tidak terpilih oleh mayoritas para pemilih, dan kalau Ralph Nader dulu tidak mengambil sebagian dari suara pemilih, maka sangat mungkin Partai Demokrat menang.


Di Indonesia banyak kalangan intelektual memandang rendah kualitas partai politik besar karena tidak punya platform yang tegas dan sasaran utamanya bukan melayani masyarakat melainkan menang dan berkuasa. Tetapi, dalam sistim demokrasi politik itu tidak ada salahnya, walaupun tidak ideal. Yang penting dari demokrasi politik adalah persaingan yang setiap lima tahun terjadi dan rakyat pemilih bisa menolak partai yang tidak disenanginya. Akan tetapi itu juga teori belaka. Dalam praktek partai politik merupakan fanclub (klub pengagum) yang besar yang selalu loyal kepada pemimpinnya serta symbol partainya. Sebagian orang akan tetap akan memilih PDIP, atau Golkar, karena figur Megawati, Akbar Tanjung dan masing-masing simboliknya, lepas dari kinerjanya untuk memerintah.


Tetapi semuanya itu juga ada manfaat bagi kepentingan ekonomi. Ekonomi akan lebih baik kalau situasi politik “stabil”, artinya predictable. Ciri ini kiranya sudah ada di Indonesia. Kedudukan serta ranking enam parpol besar, PDIP, Golkar, PKB, PPP, PAN dan PBB kurang lebih “stabil”.


Di bidang ideologi ekonomi juga tidak ada perbedaan yang menyolok. Semua kurang lebih “mainstream” (jalan tengah, tidak revolusioner). Tetapi, mengapa kinerja ekonomi, diukur dengan laju pertumbuhan PDB, hanya sekedar 4% setahun? Itu karena (transformasi) demokrasi di Indonesia yang membuat pelaksanaan policy dan hukum kurang transparan dan predictable. Ini akan membaik dengan berjalannya waktu, akan tetapi bisa memakan puluhan tahun.


Demokrasi politik pada dirinya tidak menjamin baiknya kinerja ekonomi. Tetapi, dalam jangka waktu panjang regim demokrasi politik lebih stabil daripada regim yang otokratik. Regim Suharto bagus untuk (pertumbuhan ekonomi) selama 30 tahun akan tetapi tidak menjamin bahwa transformasinya tidak akan mengganggu ekonomi. Thailand yang sudah mengalami transformasinya sejak 1973 sekarang lebih stabil.