Ekonomi Indonesia dan Konstitusi 1945

Satu isu ekonomi yang diabaikan di Indonesia ialah ekonomi konstitusional, yakni pembahasan arti ekonomi dari pasal-pasal ekonomi UUD. Cabang ilmu ekonomi ini terutama dikembangkan oleh James Buchanan, pemenang Nobel Ilmu Ekonomi tahun 1986. Buchanan mempelajari kendala yang ditimbulkan konstitusi pada sektor ekonomi. Ilmu ekonomi standar tidak mempelajari kendala lain, misalnya terkait dengan pengendalian diri. Orang yang mengidap tekanan darah tinggi dapat melakukan pantang daging, atau pantang minuman keras, dan dia melakukan self-control. Analog dengan ini, kita dapat mempunyai kendala yang disetujui bersama, sebagaimana tertera dalam kontrak sosial, Yang berlaku untuk semua orang, bukan individual seperti pengendalian diri orang sakit.
Demikianlah bahwa konstitusi menjadi landasan hidup bersama dalam satu masyarakat besar, multi-etnik, multi-kultur, multi-religi, kehidupan dengan keragaman tinggi. Konstitusi menjamin kemerdekaan setiap individu, tetapi ada batasnya sedemikian sehingga tidak mengurangi kemerdekaan orang lain. Masalah ini banyak dibahas dalam disiplin constitutional politics. Kemerdekaan produksi polutif pasti mengganggu orang lain, sehingga perlu pembatasan melalui peraturan atau UU.

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Kelistrikan dan beberapa pasal dari UU Migas, sebab dianggap bertentangan dengan UUD-1945, terutama pasal 33. Selain itu disebut bahwa dalam banyak UU, pasal 33 hanya ditafsirkan dengan konsep ekonomi pasar. Dengan menyimak argumen MK sebagaimana dilaporkan oleh koran ibukota medio Desember 2004, dapat disimpulkan beberapa pengertian ekonomi dalam UUD yang perlu dibahas lebih jauh: 1) pasal-pasal ekonomi dalam UUD, 2) ekonomi pasar dan UUD, 3) arti dan tafsir perkataan "negara menguasai".
Tidak hanya Pasal 33
Dengan demikian, satu langkah vital dalam eksplorasi tersebut ialah mengetahui dengan tepat pasal-pasal ekonomi konstitusi satu negara, dalam hal ini UUD, yang lebih bersifat jangka lebih panjang dibanding dengan UU biasa. Dalam bidang ini sendiri ada paham yang disebut sebagai Konstitusionalisme, yang membatasi kesewenangan dalam melakukan perubahan UUD. Dari sisi ekonomi, perubahan konstitusi dapat sarat dengan dampak negatif, sehingga perlu waktu minimal untuk melakukan penyesuaian portfolio kegiatan dan alokasi investasi. Pasal-pasal ekonomi UUD 1945 asli lebih sedikit dari hasil amandemen. Materi ekonomi terutama bertambah dalam UUD hasil amandemen. Pembahasan pasal-pasal ekonomi jauh lebih luas dalam UUD hasil amandemen.
Salah satu kekeliruan dalam memahami aspek ekonomi UUD 1945, baik asli maupun hasil amandemen ialah kesan bahwa aspek ekonomi hanya ada pada pasal 33. Padahal, awam pun tahu masalah anggaran atau APBN, Bank Indonesia, uang, nilai tukar, ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial dan sebagainya adalah aspek ekonomi. Masalah ekonomi UUD 1945 yang asli tertera dalam pasal 23, pasal 27 ayat (2), pasal 33, dan pasal 34. Keseluruhan pasal-pasal itu harus dipahami secara bersama, sehingga memiliki pengertian tepat pada karakteristik ekonomi Indonesia yang sesuai konstitusi. Penjelasannya juga harus dipahami sebagai bagian tak terpisahkan.
Tentang perdebatan apakah Indonesia menganut ekonomi pasar, orang harusnya mengacu pada penjelasan pasal 23 UUD 1945 asli dengan pernyataan: Uang terutama adalah alat penukar dan pengukur harga. Sebagai alat penukar untuk memudahkan pertukaran jual-beli dalam masyarakat. Pada bagian lain penjelasan dinyatakan pula: Barang yang menjadi pengukur harga itu, mestilah tetap harganya, jangan naik turun karena keadaan uang yang tidak teratur. Dua pengertian ini menyimpulkan, ekonomi Indonesia adalah ekonomi pertukaran (exchange economy), ekonomi pasar dengan uang, serta tidak menganut sistem nilai-tukar mengambang.
Penjelasan pasal 33 menyatakan bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi ekonomi: … produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Uraian ini menuntut adanya good governance dalam ekonomi Indonesia, karena harus mengalami penilikan anggota-anggota masyarakat, berarti menuntut transparansi dan akuntabilitas kegiatan ekonomi. Sehingga pada hakekatnya, tuntutan good governance yang sedemikian mendunia saat ini telah tercantum dalam UUD 1945.
Dalam buku penulis yang mengaitkan pasal-pasal ekonomi dalam UUD 1945, berjudul: Reformasi Ekonomi menurut UUD 1945, dinyatakan bahwa pasal 23 adalah analog pada sektor publik atau infrastruktural, sedangkan pasal 33 menjadi sektor ekonomi produksi. Dua-duanya harus mampu bekerja sinerjik, karena satu sama lain punya sifat komplementaritas. Ekonomi produksi tidak dapat berjalan bila tidak ada sistem transpor, sistem hukum dan UU yang menjamin pelaksanaan kontrak. Ekonomi publik, yang terdiri dari subsektor perangkat keras dan perangkat lunak, tidak dapat berfungsi bila tidak ada pajak dari sektor swasta. Dua-duanya harus efisien. Lalu bagaimana dengan arti dari penguasaan?

Bung Hatta, Sejarah ekonomi satu negara atau bangsa dapat ditelusuri dari rentetan UU dalam negara itu. Arti kata menguasai ditemui dalam UUPA No. 5 tahun 1960. Setelah mengacu pada pasal 33 ayat (3) UUD, pasal 2 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. Jelaslah bahwa arti kata hak menguasai dari negara tidak sama dengan memiliki, tetapi mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, dst.
Dalam hal itu, semua langkah negara harus mempunyai sasaran untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dan produksi harus dikerjakan oleh semua, lapangan kerja penuh. Semua orang harus ikut dalam produksi, sehingga sistem ekonomi yang dapat menyebabkan pengangguran luas tidak sesuai pada konstitusi, sebagaimana juga tertera dalam pasal 27 ayat (2). Arti selanjutnya ialah bahwa ketimpangan besar dalam ekonomi Indonesia bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Tetapi mengapa DPR dan pemerintah diam saja? Mengapa pula tidak ada class action luas menentangnya?
Sejarah pemikiran ekonomi Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Bung Hatta yang pada pidatonya di hari koperasi tahun 1951 membenarkan adanya usaha partikelir sebagai fakta, asal lebih mensejahterakan rakyat. Demikian juga Bung Hatta menuntut agar tetap mengikuti kemajuan ilmu ekonomi. Tetapi, dalam kaitan ini, aplikasi konsep baru hendaknya dilakukan dengan sangat hati-hati, namun tidak apriori menolak, seperti pada liberalisasi sistem finansil dan pelayanan dalam kerangka WTO. Masih banyak daerah abu-abu serta terra incognita di dalamnya. Krisis 1997/98 hendaknya menjadi pelajaran dan tidak manut saja pada tuntutan yang tidak berdasar, seperti liberalisasi sistem finansil, yang menuntut kesiapan awal kelembagaan dalam negeri.
Seperti dinyatakan oleh Stiglitz, pasar tidak otomatis menyelesaikan semua persoalan ekonomi, sebab pasar juga harus dilengkapi oleh berbagai lembaga pendukung. Liberalisasi pasar sering didengungkan IMF, padahal IMF adalah koperasi finansil. Apakah informasi tentang semua hal tersedia di pasar, termasuk itikad tidak baik pengusaha seperti banker Bank Global? Pasar penuh dengan kesenjangan informasi sehingga bersifat distortif, pemicu krisis. Tugas pemerintah adalah memberdayakan masyarakat melakukan penilikan atas semua kegiatan ekonomi, sesuai dengan tuntutan penjelasan pasal 33 UUD 1945.
Informasi tepat adalah kunci pelaksanaan penilikan/pengawasan, dan tugas pemerintahlah mendorong ketersediaan tepatnya, sesuai prinsip global saat ini, good governance. Apakah semua kontrak Listrik, Migas telah transparan dan para pelakunya mematuhi prinsip akuntabilitas? Di sini perlunya pemahaman Constitutional Economics sebagai kerangka pemikiran operasi ekonomi tepat.

Oleh DA Simarmata
Penulis adalah dosen FEUI, penulis beberapa buku ekonomi.
http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/2005/0126/ind2.html