Migrasi dan Disparitas Pengangguran Regional

Oleh: Nanang Subekti

Hipotesis bahwa migrasi bersifat wage equilibrating, hal ini didasari Model klasik yang memprediksi bahwa migrasi pekerja akan menurunkan perbedaan antar region. Dengan contoh sederhana yang mengasumsikan bahwa modal tetap (fixed supply) dan tidak bergerak diantara region.

Disamping asumsi diatas, dengan mengambil contoh bahwa dalam perekonomian ada dua region yaitu East (E) dan West (W) yang memproduksi barang dan menggunakan teknologi yang sama (identik). Selanjutnya pasar tenaga kerja adalah persaingan sempurna, sehingga upah (real wage) sama dengan Marginal Revenue Product dari pekerja dalam memaksimisasi profit. Saat marginal product dari pekerja menurun pada tingkat peningkatan jumlah pekerja (diminishing return), jumlah pekerja akan ditambah pada saat upah riil turun. Sebaliknya, pada sisi penawaran pasar tenaga kerja, jumlah pekerja akan meningkat pada saat upah riil tinggi.
A.

B.

C.

Gambar A menunjukan posisi awal pada pasar tenaga kerja. Pada gambar B, karena adanya perubahan penawaran tenaga kerja yang diakibatkan adanya pertambahan jumlah penduduk atau peningkatan kualitas sumber daya manusia di East, maka Se bergeser ke S`e yang mengakibatkan upah riil di East meningkat dari R1 ke R2.

Tidak adanya hambatan informasi dan perbedaan biaya menyebabkan adanya migrasi pekerja dari West ke East yang merupakan respon dari perbedaan upah antara region East dan West. Pada gambar C, migrasi tersebut menyebabkan penawaran tenaga kerja di East akan kembali bergeser ke kanan dan sebaliknya di West akan bergeser ke kiri. Migrasi tersebut akan terus berlanjut sampai pada kondisi stabil yang akan menemukan titik keseimbangan baru pada kedua region pada upah riil sebesar R*. (Harvey Amstrong, Jim Taylor 2000).

Teori diatas diasumsikan bahwa modal pada jumlah yang tetap dan tidak bergerak di antara region. Dan apabila capital bergerak secara bebas maka capital akan bergerak dari region yang memiliki upah riil yang tinggi ke region yang memiliki upah riil yang lebih rendah (Harvey Amstrong, Jim Taylor 2000).

Selanjutnya apakah migrasi hanya diakibatkan oleh peningkatan upah riil dari suatu region yang menyebabkan kesenjangan terhadap region lain pada tingkat upah riil. Bila kita melihat kenyataan bahwa pada suatu daerah pasti memiliki pengangguran masing-masing.

Apabila pengangguran dalam 4 (empat) kategori yaitu; 1. Pengangguran Friksional dimana merupakan pengangguran yang diakibatkan karena tidak adanya matching antara pencari kerja dengan lowongan kerja; 2. Pengangguran Struktural yang merupakan pengangguran yang diakibatkan mismatch karena keahlian atau wilayah penganguran; 3. Pengangguran Neokalisik yang merupakan pengangguran akibat upah riil yang terlalu tinggi sehingga terjadi mismatch antara perusahaan dengan pengangguran; 4. Demand-deficient unemployment, pengguran yang diakibat karena rendahnya perekonomian secara agregat.

Dengan melihat pembagian pengguran seperti diatas tentunya teori klasik tentunya terlalu sederhana untuk dapat menjelaskan migrasi pekerja. Karena pengangguran tentunya akan melakukan migrasi tidak hanya karena perbedaan upah riil. Bila kita amati fenomena Indonesia dimana migrasi antar region terjadi di kota-kota besar seperi Jakarta dan Surabaya diakibatkan karena penawaran tenaga kerja (kesempatan kerja) yang lebih besar dibandingkan dengan daerah (region lain) di Indonesia, tetapi tidak karena upah riil yang lebih tinggi dibanding daerah masing-masih.

Dari uji empiris dari hipotesis teori klasik menunjukkan bahwa, Adanya fakta migrasi cenderung menurun pada masa resesi yang menunjukkan migrasi interegional adalah mekanisme yang tidak sempurna untuk menyelesaikan masalah pengangguran regional. Beberapa penelitian menunjukkan migrasi antar region di Inggris akibat adanya kesenjangan pengganguran regional (Jackman and Savouri 1992a; Pissarides and McMaster 1990). Temuan lain, menunjukan bahwa migrasi merupakan mekanisme yang lemah untuk menanggulangi pengangguran pada daerah yang terisolasi yang mempunyai tingkat pengangguran yang tinggi (molho 1995).

Untuk melihat respon migrasi terhadap disparitas penganguran regional, Antelin and Bover’s (1997) melakukan investigasi terhadap penganguran interregional di Spanyol. Dengan menggunakan data individual yang besar; menunjukkan tidak adanya migrasi dari region penngangguran tinggi seperti Andalusia dan extremadura dan region tinggi lainnya. Migrasi tidak menunjukkan adanya mekanisme pengurangan pada region yang tinggi di Spanyol. Juga ditemukan bahwa respon migran terhadap disparitas pengangguran regional terdiri dari beberapa tipe pekerja. Probabilitas orang melakukan migrasi dari daerah tingkat pengguran yang tinggi ke tingkat pengguran yang rendah adalah terkait erat dengan kondisi keluarga dan kualifikasi pendidikan mereka. Masyarakat kurang tertarik untuk pindah dari dari region dengan tingkat pengangguran yang tinggi ke region yang rendah sebagai contoh jika mereka mempunyai anak atau sebagai kepala rumahtangga. Mereka akan pindah apabila mempunyai kualifikasi yang tinggi. Disini karakteristik personal dari penganggur mempunyai efek yang signifikan terjadinya migrasi pada kesenjangan penganguran regional.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa regional migrasi adalah rendah dan relatif merupakan proses yang tidak efektif dalam mereduksi disparitas pengangguran antar region dibeberapa negara (Antolin and Bover 1997; Bentolita 1997; Faini et.al 1997; Groenewold 1997; dalam Harvey Amstrong, Jim Taylor 2000).